Selasa, 13 Januari 2009

Kisah dari stasiun Jatinegara

Kereta Api Bima yang saya tumpangi dari Madiun perlahan-lahanmemasuki stasiun Jatinegara. Para penumpang yang akan turun diJatinegara saya lihat sudah bersiap-siap di depan pintu. Sementaraitu, dari jendela, saya lihat beberapa orang porter/buruh angkutberlomba lebih dulu masuk ke kereta yang masih melaju. Merekaberpacu dengan kereta, persis dengan kehidupan mereka yang terusberpacu dengan tekanan kehidupan kota Jakarta. Saat keretabenar-benar berhenti, kesibukan penumpang yang turun dan porter yangberebut menawarkan jasa kian kental terasa. Sementara di luar keretasaya lihat kesibukan kaum urban yang akan menggunakan kereta. Merekakebanyakan berdiri,karena fasilitas tempat duduk kurang memadai.Sebuah lagu lama PT. KAI yang selalu dan selalu diputar dengansetia.
Tiba-tiba terdengar suara anak kecil membuyarkan keasyikan sayamengamati perilaku orang-orang di Jatinegara. Saya lihat seorangbocah berumur sekitar 10 tahun berdiri disamping saya. Kondisifisiknya menggambarkan tekanan kehidupan yang berat baginya.Kulitnya hitam dekil dengan baju kumal dan robek-robek disana-sini.Tubuhnya kurus kering tanda kurang gizi.
"Ya?" Tanya saya kepada anak itu karena saya tadi konsentrasi sayamelihat orang-orang di luar kereta. "Maaf, apakah air minum itusudah tidak bapak butuhkan ?" katanya dengan penuh sopan sambiljarinya menunjuk air minum di atas tempat makanan danminum samping jendela. Pandangan saya segera mengikuti arah telunjuksi bocah. Oh, air minum dalam kemasan gelas dari katering keretayang tidak saya minum. Saya bahkan sudah tidak peduli sama sekalidengan air itu. Semalam saya hanya minta air minum dalam kemasangelas untuk jaga-jaga dan menolak nasi yang diberikan olehpramugara. Perut saya sudah cukup terisi dengan makan di rumah.
"Tidak. Mau ? Nih..." kata saya sambil memberikan air minum kemasangelas kepada bocah itu. Diterimanya air itu dengan senyum simpul.Senyum yang tulus.
Beberapa menit kemudian, saya lihat dari balik jendela kereta, bocahtadi berjalan beririringan dengan 3 orang temannya. Masing-masingmembawa tas kresek di tangannya. Ke empat anak itu kemudian dudukmelingkar dilantai emplasemen. Mereka duduk begitu saja. Merekatidak repot-repot membersihkan lantai yang terlihat kotor. Masing-masing kemudian mengeluarkan isi tas kresek masing-masing. Setelahsaya perhatikan, rupanya isinya adalah "harta karun" yang merekatemukan di atas kereta. Saya lihat ada roti yang tinggalseparoh, jeruk medan, juga separuh; sisa nasi catering kereta, danair minum dalam kemasan gelas !
Selanjutnya dengan rukun mereka saling berbagi "harta karun" temuanmereka dari kereta. Saya lihat bocah paling besar menciumi nasibekas catering kereta untuk memastikan apakah sudah basi atau belum.Tanpa menyentuh sisa makanan, kotak nasi itu kemudian disodorkanpada temannya. Oleh temannya, nasi sisa tersebut juga dibaui.Kemudian, dia tertawa dengan penuh gembira sambil mengangkat tinggi-tinggi sepotong paha ayam goreng. Saya lihat, paha ayam goreng itusudah tidak utuh. Nampak jelas bekas gigitan seseorang.
Tapi si bocah tidak peduli, dengan lahap paha ayam itu dimakannya.Demikian juga makanan sisa lainnya. Mereka makan dengan penuh lahap.Sungguh, sebuah "pesta" yang luar biasa. Pesta kemudian diakhiridengan berbagi air minum dalam kemasan gelas !
Menyaksikan itu semua, saya jadi tertegun. Saya lihat sendiri persisdi depan mata, potret anak-anak kurang beruntung yang mencobabertahan dari kerasnya kehidupan. Nampaknya hidup mereka adalah apayang mereka peroleh hari itu. Hidup adalah hari ini. Esok adalahmimpi dan misteri.
Cita-cita ?Masa Depan ? Lebih absurd lagi.
Bagi saya pribadi, pelajaran berharga yang saya petik adalah, bahwasaya harus makin pandai bersyukur atas segala rejeki dan nikmat yangdiberikan oleh Allah SWT. Dan tidak lagi memandang sepele hal yangnampak sepele, seperti misalnya: air minum kemasan gelas. Karenabisa jadi sesuatu yang bagi kita sepele, bagi orang lain sangatberarti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar